Dihina Tetap Tertawa




Untuk bisa memahami orang lain adalah hal yang sangat sulit, karena di dalam memahami dunia atau pun diri seseorang kita selalu berlandaskan pada latar belakang kehidupan kita sendiri. Untuk satu hal yang sama, karena setiap orang punya latar belakang kehidupan yang tidak sama, maka masing-masing orang juga punya pemahaman yang berbeda. (CLIPART)

Saya pernah membaca sebuah artikel di internet: Ada seorang guru mengajak sekelompok muridnya menumpang bis umum untuk meninjau kehidupan di luar sekolah. Setelah semua muridnya mendapatkan tempat duduk, guru tersebut sudah tidak mendapatkan tempat duduk lagi, maka dia terpaksa berdiri. Sesampai di pemberhentian berikutnya, ada sekelompok orang yang menaiki bis, diantara penumpang itu ada seorang nenek tua, yang berambut putih wajahnya keriput, seperti orang yang sudah mengalami banyak pahit getir kehidupan, kebetulan dia berdiri di samping guru itu.

Melihat keadaan nenek itu, hati iba guru tersebut muncul begitu saja, dia menyorotkan pandangannya ke tempat duduk khusus. Seorang gadis muda duduk dengan menundukkan kepala sambil memutar-mutar tali tas bawaannya, berpura-pura seperti tidak melihat apa-apa.

Dengan kondisi seperti itu, guru tersebut berpikir untuk menggunakan kesempatan itu untuk mendidik, karenanya dia membuka suara bertanya pada anak didiknya, "Anak-anak sekalian, tempat duduk khusus itu disediakan untuk siapa?" Anak-anak kecil itu menjawab dengan polos, "Tempat duduk khusus itu disediakan untuk orang tua atau orang cacat!" Sambil bertanya guru itu menengok ke arah gadis muda itu untuk melihat reaksinya, dia menemukan bahwa gadis itu bagai tidak mendengar sama sekali, terus memutar-mutar tali tasnya dengan lebih kuat.

Melewati satu pemberhentian lagi, gadis muda itu turun dari bis, setelah turun dari bis guru itu melihat gadis muda itu berjalan dengan terpincang-pincang, kaki kanannya harus membentuk setengah lingkaran baru bisa digerakkan untuk melangkah maju.

Pada saat itu guru itu baru menyadari bahwa gadis muda itu adalah seorang cacat, segera dalam hati guru itu merasakan penyesalan dan sangat malu, dia sangat penasaran sekali ingin turun dari bis untuk menyatakan permintaan maafnya kepada gadis itu, tetapi bis sudah berjalan meninggalkan halte itu. Hati guru itu rasanya seperti disayat, dia berpikir, "Saya tadi sudah melukainya sangat berat!"

Artikel tersebut telah membicarakan sebuah topik yang sangat penting, yaitu ketika kita menuduh orang lain, sebenarnya itu bukanlah berdasar pada kelakuan orang yang dituduh, tetapi atas dasar perkiraan pikiran kita terhadap sikap orang lain yang kita analisa dan simpulkan sendiri. Para psikolog mengategorikan penyebab manusia menyimpulkan orang lain dari sikapnya itu sebagai semacam "kembali pada sebab".

Makna dari "kembali pada sebab" ini, pada umumnya diartikan menghubungkan segala kesalahan dengan sebab permasalahan. Ketika seseorang menemui suatu masalah yang besar, seringkali bisa mendorongnya untuk menyimpulkan sebab dari permasalahan itu.

Guru tersebut telah mengambil kesimpulan sendiri: Gadis muda yang menduduki tempat duduk khusus dan tidak mau mengalah itu, tidak mengerti tata karma, dan sopan santun, maka dari itu ia lalu mempunyai pikiran mengambil kesempatan ini untuk mendidik murid-muridnya.

Sebenarnya bukanlah hal yang mudah untuk dapat menyimpulkan secara tepat penyebab perilaku orang lain, karena latar belakang kehidupan dari setiap orang itu tidak sama, karena itu siapa pun akan sangat sulit untuk bisa benar-benar memahami orang lain.

Oleh karenanya, di dalam sejarah Tiongkok kemudian timbul suatu kiasan atau ungkapan yang mengatakan sahabat intim seperti Bo Ya dan Zi Qi sangat sulit dicari. Misalnya dalam cerita di atas, karena guru itu sendiri bukan seorang yang cacat, di dalam benak pikirannya sangat sulit memahami tentang konsep orang cacat ataupun perasaan mereka.

Selama dua puluh tahun lebih sebagai seorang pendidik orang cacat, pekerjaan pertama saya sebagai guru pengajar sekaligus sebagai ketua penelitian di SLB, saya juga pernah ke pelosok negeri untuk meneliti pendidikan para tuna rungu. Tetapi sejauh itu, baik dalam pekerjaan maupun penelitian ilmiah yang pernah saya lakukan, saya sama sekali tidak pernah bisa menghayati berbagai macam perasaan yang ada pada diri saya sendiri sampai akhirnya menjadi tuna rungu.

Penderitaan dan kesedihan dari seorang tuna rungu, sungguh sangat sulit untuk diuraikan dengan satu dua patah kata, tetapi sama sekali tidak pernah muncul dalam literatur mana pun. Mengambil beberapa contoh: Sebelum kehilangan pendengaran, malam ketika mau tidur setelah lampu dipadamkan, masih bisa bercengkrama dengan asyik; Setelah kehilangan pendengaran, hanya bisa diam seribu bahasa bertanya kepada yang Kuasa.

Ketika masih sebagai seorang guru pengajar tuna rungu, pernah ada seorang murid yang membawa secarik kertas minta saya membantu dia untuk menelepon, ketika itu dalam hati saya berpikir : Untuk apa? Telepon saja juga harus minta bantuan guru?! Setelah jadi seorang tuna rungu saya baru tahu, karena seorang tuna rungu tidak bisa menelepon, oleh sebab itu teman-teman lama saya satu per satu mulai jauh dari saya, hingga sekarang saya sudah sepenuhnya menjadi manusia yang sama sekali terisolir dari masyarakat.

Pada awalnya sekolah khusus mengajarkan bahasa isyarat sebagai pelajaran utama, orang awam umumnya tidak mengerti bahasa isyarat, seorang tuna rungu hanya bisa berkomunikasi dengan sesama tuna rungu, maka pada saat itu saya berusaha keras di dalam sekolah untuk menjalankan pelatihan komunikasi dengan menggunakan bahasa tulisan.

Setelah saya sendiri kehilangan pendengaran, saya baru tahu : Saya telah berobat ke puluhan dokter ahli, namun jarang sekali ada dokter yang mau menggunakan cara menulis untuk memberitahukan keadaan penyakit saya.

Untuk bisa memahami orang lain adalah hal yang sangat sulit, karena di dalam memahami dunia ataupun diri seseorang kita selalu berlandaskan pada latar belakang kehidupan kita sendiri. Untuk satu hal yang sama, karena latar belakang kehidupan dari setiap orang tidak sama, kesadaran masing-masing orang juga sangat berbeda.

Laozi berkata, "Orang bijak mendengar Tao (= jalan kebenaran), dengan rajin akan dilaksanakan; Orang kebanyakan mendengar Tao, seolah-olah berlatih seolah-olah tidak; Orang bodoh mendengar Tao, akan menertawakan dengan keras, jika tidak ditertawakan bukan merupakan Tao." Perkataan ini merupakan anotase yang paling bagus.

Dalam sekolah taman kanak-kanak, guru menuliskan tanda "+" dipapan tulis, bertanya kepada anak-anak sekolah Mandarin apakah itu? Jawabannya tentunya adalah 10. Jika bertanya kepada anak SD kelas satu atau kelas dua, mereka bisa menjawab tanda tambah. Jika tanya kepada pengikut Kristen jawabannya adalah salib.

Jika bertanya pada sopir, jawabannya pasti persimpangan jalan. Tanya kepada donatur, dia pasti menganggap itu adalah tanpa palang merah. Sebuah tanda "+" yang sama, bisa mempunyai keterangan yang beraneka ragam.

Kecuali sebab ini, semangat dan keinginan yang berbeda terhadap perasaan dan penjabaran benda, juga bisa mempunyai pengertian yang berbeda. Sisa tentara yang baru kalah dari medan perang tentunya bisa mempunyai perasaan panik, rumput dan pohon semuanya nampak seperti tentara musuh.

Manusia yang berhati kotor, tentunya bisa menghidupkan suara dan bayangan, suara tiupan angin dan gerak-an dahan pohon akan dia rasakan bagai tangisan setan dan lolongan serigala.

Situasi yang berbeda, keterangan yang diberikan mungkin bisa berlainan juga. Seorang ayah bertanya kepada bapaknya, "Ayah, menikah itu memerlukan berapa banyak uang?" Anaknya ingin menikah, sedang memperhitungkan biaya perkawinan. Ayahnya menjawab, "Sulit dikatakan, karena hingga saat sekarang ini ayah masih harus membayar akibatnya."

Kebiasaan berpikir juga bisa memilin perasaan, menyebabkan penafsiran yang salah :

Ada dua orang teman saling bercerita tentang keadaan masing-masing...

Si A: "Demi menyenangkan hati isterinya, dia mulai berhenti merokok, minum- minuman keras, juga sudah tidak pergi berjudi lagi."

Si B berkata, "Kalau begitu isteri Anda pasti senang bukan main."

Si A menjawab, "Tidak juga! Dia merasakan sangat jemu, karena dia kehabisan bahan untuk mengomel."

Isteri ini memupuk semacam kebiasaan mencari kesalahan orang lain, dia tidak melihat bahwa suaminya sudah menghentikan banyak kebiasaan buruknya, tidak bisa mengagumi kelebihan dari Mr. Right ini, sebaliknya dia merasakan kejemuan karena "tidak ada kesalahan lagi yang bisa dia cari!"

Dahulu ada seorang pejabat, sangat arogan sekali, sering kali mencari kesalahan bawahannya. Suatu hari, pembantunya menyajikan semangkuk sup sirip ikan yang berkualitas sangat tinggi, pejabat itu melahapnya dengan sangat nikmat sekali, sambil melahap sambil berkata, "Hem, sungguh luar biasa enaknya!"

Ketika itu, setiap bawahannya mengira pejabat itu akan memberi hadiah kepada pembantunya itu, tidak disangka di luar dugaan dia malah menghardik pembantunya itu, "Kurang ajar! Makanan yang begitu enaknya, mengapa hingga sekarang baru Anda sajikan, apakah kamu ingin saya pecat!"

Masih ada, prasangka seseorang terhadap sesuatu juga bisa mempengaruhi penjelasannya terhadap benda atau masalah itu. Misalnya, murid menggunakan buku menutupi diri yang merebahkan kepala untuk tidur di atas meja. Jika murid tersebut tingkah lakunya kurang baik, guru bisa menerangkan kelakuan tersebut sebagai: "Kelihatan buku langsung mengantuk dan tidur! Sungguh seperti kayu rapuh tidak bisa diukir". Jikalau yang tidur itu adalah murid yang berkelakuan sangat baik, guru tersebut akan bisa beranggapan: "Ketika tidur pun masih membaca buku, ia akan mempunyai masa depan yang tidak terbatas!"

Berbagai faktor yang diceritakan di atas menjelaskan: Diantara manusia dan manusia sangat sulit sekali untuk bisa saling memahami, maka atas perilaku setelah balik ke sebab, segala dakwaan yang dilakukan acapkali bisa berubah rupa hingga tidak bisa dikenal lagi.

Sebaliknya, orang yang dituding, yang dikritik itu, ketika menghadapi kritikan orang yang tidak mengerti fakta yang sebenarnya, asalkan mau menelaah ke dalam diri sendiri, tidak merasa malu, mengapa harus mengganjal dalam hati, mencari kerisauan sendiri? Setelah mengerti dengan prinsip ini, "Dihina tetap tertawa sampai ludah di wajah pun mengering dengan sendirinya", maka ini bukan lagi suatu cara pengasuhan diri yang sulit untuk dicapai. (Huang Jinyuan/The Epoch Times/lin)
(Sumber:EraBaruNews)

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Dihina Tetap Tertawa"

Posting Komentar